Laman

Selasa, 21 Juli 2009

Purwokerto, I'm in love with youuu^^

Relax. Forget your business for a while. Now, I want tell you about the small town that made me in love.

What’s on your mind if you hear Purwokerto?


For me, that word mean ‘ndeso’ name, looks like so out of fashion and hi-tech device. In my first impression with that name, I feel the traditional atmosphere is very strong, just it!


Last Friday (July,17th), in the some breath with Bomb Terror of Jakarta, me and my family went to Puerto Rico. *Oh, forgive me with a slip of the pen*. I mean PURWOKERTO! It doesn’t mean we were joined exodus from Jakarta, it just incidentality!


After more or less 8 hours away by car, finally I beat up that small town. It was midnight so I couldn’t see the whole of town. And sleeping is the best choice! Hehehe… xp When the morning comes, I was going around the town which I staying with.


Making my way downtown, Walking fast, faces past And I’m homebound.. Staring blankly a head Just making my way, making my way Through the crowd..


Okay. Maybe ‘a thousand miles’ by Vanessa Carlton fit to play in my car. Lalala~ :DD


I frightened out of with that town. Well, Purwokerto is very beautiful and clean town, it won Adipura Cup as runner up last year. Not only it, but that town also has strong ‘magical power’ to make me stay on in there. If you stay in there, you will feel that time is running slowly. No more traffic jam hit the town. No more greedy in every second. By sure, those towns offer me pleasure. I can forget about anything that makes me hard pressed.

And this is the calm picture of Purwokerto.





The vehicles are not crowded as well as Jakarta. Maybe it because the popularity density is low. And because this town is not too large, so, you can finish Purwokerto in an hour by car, therefore the citizens choose motorbike to go around. Hehehe.. That’s why I’m in love with this town. ^^






This the downtown (alun-alun) in the towards the evening


I realize that Purwokerto is given me Indonesia looks like. The towny get on together in alun-alun (oh, could I found in Jakarta?). For your information, in that town I almost rare find foreign corporation was build. The control drive was local people. Nonintervention of foreign in local economic or culture. Many local restaurant offer local food like Mendoan, Soto Jalan Bank, Sate Kambing Tiga Saudara (thanks Jana for recomendation, I’ve taste it all. Delicious culinary!).


Once again I say, Purwokerto is very Indonesiatic! Standing ovation with that town.
Don’t be misinterpretation, far from foreign hands doesn’t mean out of fashion, in the fact I often look many internet store in that town, it makes Purwokerto always have an ear to the ground.
Maybe, we must learn from Purwokerto, how to develop its region without leave any local culture. That’s the point!


In outside of town, we can still look many fields…


Especially in the road to Baturraden. Oh, how beautiful God’s creature^^

Forgive me if I cannot stop to take a photograph about the scenery I saw. It’s cool baby, cool!!;)








Yap. Baturraden is tourists area that located in the top of Slamet Mountain, Central Java. You just pay five thousand rupiahs and then you will see beautiful scenery in there.^^



Me in Baturraden.


Okay, that’s my report from my trip in Purwokerto. You can called me too much show off, whatever, but, I just want to sharing experience with the place I amazed. It will makes me proud being Indonesian (and maybe you too).
*Next trip in Dieng, just looking my album by yourself. Sorry, if my English grammar gets wrong! hehe;)

Sabtu, 11 Juli 2009

Jadilah Diri Sendiri

Tujuanmu adalah menemukan siapa dirimu sebenarnya (A course of Miracle). Begitu diri sendiri ditemukan, keajaiban hidup akan segera berdatangan. Sayangnya, menemukan diri (sesuatu yang sangat dekat) tidak mudah dilakukan. Jadwal keinginan yang terlalu deras membendung kita untuk lebih memburu hal-hal di luar diri kita: musik terbaru, berita atau gossip terbaru, hasil pertandingan terbaru, dan segala yang baru dari luar diri. Kita terus menerus melayani apa yang ada di hadapan kita, bukan yang ada dalam diri kita. Dorongan untuk dianggap “sama dengan yang lain” atau “mengikuti tren terkini” mendesak kita untuk mengesampingkan perasaan, kearifan, dan kelelahan kita:

“Sembilan puluh persen kesengsaran dunia berasal dari orang-orang yang tidak mengenal diri mereka sendiri, kemampuan, kelemahan moril, bahkan kebajikan mereka sendiri. Kebanyakan dari kita menjalani hampir seluruh hidup kita sebagai orang yang sama sekali asing terhadap diri kita sendiri” (Sydney J. Haris)

Dalam masyarakat yang terarah keluar diri, kita terus melangkah maju dan lupa. Kita menjadi begitu terbiasa dengan suasana hiperaktif sehingga lupa cara untuk hening, santai, dan menyelaraskan diri dengan perasaan kita yang sebenarnya. Kita lupa bagaimana “membaca” diri kita sendiri. Kita punya daftar panjang nomor pin atau kata sandi untuk membuka rekening/username, tetapi tidak punya akses untuk masuk ke batin kita. Kita begitu jenuh dengan tuntutan tren sehingga lupa bagaimana menjadi sadar akan diri sendiri, terarah ke dalam diri. Seseorang yang sibuk bahkan berkata, “untuk melakukan pekerjaan saya dengan baik, saya harus menjadi seseorang yang tidak saya kehendaki.”

Emerson menulis, “Janganlah Anda memercayai janiji kemenangan politik, kenaikan gaji, kesembuhan dari penyakit atau kembalinya harihari bahagia, sebab permasalahannya tidak semudah yang dikatakan. Bahkan tiada sesuatu pun yang dapat mendatangkan ketenangan bagi Anda kecuali diri Anda sendiri.” Ketika keinginan untuk sukses seperti orang lain menguat, saat itu kita lupa kepada diri kita sendiri. Stress akan muncul karena Phytagoras (filsuf Yunani) pernah berkata, “Sakit itu tidak ada, yang ada hanyalah keabaikan atau ketiadaan kesadaran diri.”

Al-Qur’an menyatakan, Wahai jiwa yang tenang, kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai (oleh-Nya). (QS. Al-Fajr : 27-28). Fantastis, Al-Qur’an sering memberikan peringatan akan bahaya penyakit jiwa ketimbang penyakit badan, Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka (QS. Al-Shaff : 5). Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta (QS. Al-Baqarah :10)

Montaigne, seorang filsuf Perancis, menyatakan, “Tubuh manusia tidak banyak terpengaruh oleh kejadian yang menimpa dirinya; tidak sebagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh pendapatnya karena memikirkan sesuatu peristiwa.” Dalam sebuah atsar disebutkan, “Ya Allah, jadikanlah diriku merasa puas akan ketetapanMu sehingga aku meyakini bahwa apa saja yang menimpa diriku bukanlah sesuatu yang nyasar kepadaku dan apa saja yang luput dariku bukanlah karena dipalingkan kepadaku.”

Semakin mengenali diri, semakin baik kita memercayai kecerdasan yang ada dalam diri. Gede Prama menyebutkan bahwa pada masing-masing diri ada sesosok bayi yang ingin terus dilahirkan. Bayi yang memiliki cara pandang yang polos, penuh senyum pada seluruh peristiwa, tidak masuk akal (karena lebih mengutamakan kebahagiaan), lucu, berpusat pada diri, dan lentur. Bayi adalah innocent (tanpa dosa, tanpa pikir panjang yang rumit-rumit). Jika kita sedang mumet, dengarkan permintaan bayi kita, lalu ikutilah keinginannya untuk diam sejenak, atau bernyanyi atau berjingkrak-jingkrak. Know yourself! Itulah dasar pemikiran filsafat Ekstensialisme.

every day there's a boy in the mirrorasking me what are you doing herefinding all my previous motivesgrowing increasingly unclear
(Homesick – Kings of Convenience)

Setelah mengetahui diri yang sama pentingnya adalah penerimaan-diri; semakin kita melatih penerimaan-diri, semakin mudah untuk mengakui kekuatan kita, mengapresiasikan prestasi yang kita dapat, menghadapi tantangan, terbuka terhadap umpan balik, menerima tawaran bantuan, dan seterusnya. Penerimaan diri membuat segala sesuatunya menjadi mudah sedangkan penolakan diri menimbulkan pergulatan yang lebih keras dan ketidaktenangan dan menuntut lebih banyak kerja keras. Psikolog Carl Gustav Jung menulis, “Orang bisa memenuhi tuntutan keharusan dari luar dengan cara yang ideal jika dia juga memenuhi tuntutan dari dunia di dalam dirinya; artinya jika dia rukun dengan dirinya sendiri.”

Menerima diri berarti tidak menginginkan menjadi orang lain. Hidup orang lain bisa tampak begitu menyenangkan, tapi belum tentu begitu keadaannya. Rumput di halaman tetangga kadang terlihat lebih indah daripada rumput halaman sendiri. Janganlah meniru kepribadian orang lain. Sesungguhnya sikap itu akan membuat kita gampang bersedih. Banyak orang yang melupakan diri mereka, suara mereka, gerakan, bakat, hobi, dan sebagainya demi menjadi orang lain. Hasilnya adalah keterpaksaan, terseret-seret seperti bayangan yang selalu mengikuti pusatnya.

Sejak Adam hingga mahluk terakhir, belum pernah ada yang sama diantara dua orang dalam kembarnya. Lalu, mengapa kita harus sama dengan yang lain? Kita adalah sosok khas yang belum pernah ada sepanjang sejarah, tidak ada sosok yang sama dengan kita. Yakinilah itu… Sungguh, tiap-tiap manusia mengetahui tempat minumnya sendiri.. (QS. Al-Baqarah : 60) Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya. Oleh karena itu, berlomba-lombalah kalian dalam berbuat kebaikan… (QS. Al-Baqarah : 148)

So, jalanilah hidup ini dengan apa yang kita miliki, dengan apa yang telah diberikan Allah kepada diri kita. Jangan ubah suara, jangan ganti aksen bicara, jangan ubah cara berjalan. Bersyukur sajalah dengan apa yang sudah diberikan Allah. Carilah rahasianya sambil percaya bahwa Allah tidak pernah iseng ketika menciptakan kita.

Kalau dikaitkan dengan pengalaman pribadi penulis, “Orang akan semakin sulit mendefinisikan dirinya; Saya Adalah…; ketika sudah banyak topeng (kepura-puraan) watak yang telah ia mainkan di dunia nyata. Akibatnya, saat ia harus menjelaskan siapa dirinya, ia bingung harus menjawab apa, karena ia telah kehilangan karakter asli dirinya sendiri. So, be your self, guys!”

*sumber : sebagian dikutip dari buku La Tahzan for Teens oleh Qomaruzzaman Awwab.