Stres. Siapa yang tidak mengenalnya? Hampir semua pernah mengalaminya. Begitu pula manusia normal seperti saya. Sebagai mahasiswa apalagi sih yang menjadi penyebab utama stres selain beban tugas kuliah dan deadline yang mengejarnya. Ya gak? *haha*
Belum selesai tugas yang satu, datang lagi tugas lainnya, dan seterusnya. Mungkin benar semua itu tidak akan menjadi berat jika kita mempunyai manajemen waktu dan soft-skill yang bagus dalam mengatur tugas-tugas kuliah. Tapi kan namanya manusia kadang emosinya naik turun, gak stabil dan itu sangat mempengaruhi cara kita dalam menghadapi kondisi-kondisi tertentu.
Kali ini saya tidak ingin menjelaskan bagaimana gambaran stres yang saya alami atau bagaimana membangun manajemen waktu yang baik, dsb dsb. Saya hanya ingin membagi pengalaman saya saat menghadapi stres dan mendadak saya merasa mempunyai cara (ampuh bagi saya) untuk mengatasinya.
Begini ceritanya..
Stres akademik yang saya alami beberapa hari terakhir ini memang banyak menyita pikiran, tenaga dan waktu. Meskipun saya yakin tugas yang saya kerjakan pasti ada manfaatnya suatu saat nanti, namun saya tetap membutuhkan semacam angin segar untuk menyegarkan padang tandus ini. Atau dengan kata lain saya ingin CURHAT dengan seseorang!
Tapi kesempatan untuk curhat kali ini sepertinya memang tidak ada buat saya. Tadi pagi sebelum berangkat kuliah, bukannya saya yang curhat malah ada seseorang yang curhat kepada saya, menceritakan beberapa masalah yang sedang dia alami.
*oh, hello..caregiver also need others caregivers too, right?!*
Tanpa disuruh, si oknum memulai curhatnya dan saya tetap dalam keadaan tak bersemangat mendengarkannya. Karena beliau ini memang jauh lebih tua dibanding saya, mau tak mau saya harus mendengarkan keluh kesahnya, tanpa ada kesempatan untuk menolak.
Lalu lama-kelamaan saya semakin tertarik dengan cerita yang ia katakan pada saya. Dan ‘teg’, mendadak dalam hitungan detik, saya bisa dengan ringannya memberikan komentar dan menanggapi masalah beliau dengan memakai teori-teori psikologi yang telah saya dapatkan.
Tetapi beliau hanya menarik napas, tanda tidak setuju dengan pendapat saya mengenai teori perkembangan yang saya sampaikan. Memang dalam berkomentar saya tanpa sengaja juga memberikan feedback yang cukup ‘ngena’ tentang pendapat beliau, cukup membantah dan mungkin juga itu yang membuatnya menjadi enggan mengikuti pendapat saya. Lalu perbincangan kami semakin terlihat lebih menarik, dan saya pun sudah tidak mendengar helaan napasnya saat saya berkomentar. Ketika pembicaraan terlihat sudah harus diakhiri, dia pun mengucapkan kalimat sederhana yang berdampak luar biasa :
“Terima kasih yah, nak. Sepertinya orang seperti saya harus belajar lebih banyak lagi dengan anda.”
Sampai di kampus, kalimat manis yang diucapkan begitu tulusnya dari mulut beliau itu pun masih terngiang dari diri saya. Ada dua pertanyaan yang terlontar dari lubuk hati saya.
- Mengapa keliatannya kata-kata itu ia lontarkan dengan tulus ikhlasnya kepada saya? Memang hal besar apakah yang telah saya lakukan untuknya hingga ia mengatakannya sambil menundukkan kepala kepada saya?
- Lalu mengapa setelah beliau mengatakan hal itu, seperti ada sebuah beban berat yang terangkut dari pundak dan otak saya? Rasanya ‘plong’ sekali sesudah pembicaraan itu. Dan rasa ‘plong’ yang saya dapatkan membuat saya ketagihan untuk melakukannya.
Untuk pertanyaan pertama, jujur saya sendiri tidak tahu penyebabnya, karena hanya beliau lah yang tahu mengapa. Dan bagi saya, itu tidak terlalu penting untuk diketahui, bermanfaat ya syukur, kalo nggak juga gak apa-apa.
Nah, yang saya ingin kembangkan disini adalah pertanyaan kedua. Tentang reaksi ‘plong’ yang membuat saya ketagihan. Jujur saja, setelah saya berbincang dengan beliau stres yang saya alami menjadi sedikit berkurang.
Dan saya pun kembali mengingat konsep dari STRES itu sendiri. Dari beberapa definisi stres yang saya dapatkan, ada satu yang benar-benar saya pahami.
“Stress adalah kondisi psychofisiologik yang terjadi ketika "input" psikologis lebih besar dari pada outputnya”(Matindas, 2008).
Bayangkan dengan penyaluran air dari sebuah bak (otak/ pusat informasi) ke keran keran (sel sel efektor) melalui pipa karet (jalurpenyalur rangsang / sel sel saraf). Bila keran tertutup atau bila air yang masuk ke bak penampungan sementara jauh lebih besar dari yang disalurkan, pipa pipa karet akan menggembung dan bisa meledak sewaktu-waktu.
Berdasarkan teori ini, berarti saya telah mengeluarkan sedikit input yang terima dari kuliah, yaitu berupa pemberian materi kuliah yang telah saya dapatkan kepada beliau. Artinya, saya telah menerapkan prinsip keran air, agar tidak mampat maka isinya ya harus kita salurkan. Bukan dihilangkan begitu saja.
Saya jadi teringat omongan kakak kelas, “kita mempunyai kewajiban untuk memberi tahu hal-hal penting yang kita ketahui kepada orang lain yang membutuhkan” (Kearens, 2009).
Rupanya hal ini dimaksudkan untuk meringankan sedikit beban pikiran kita yang begitu banyaknya. Tapi menurut saya pribadi, akan ada perbedaan hasil saat kita mengatasi stres dengan curhat sama orang lain dibandingkan apabila kita mengeluarkan input dari otak kita dan mengeluarkannya (output) ke tempat yang tepat.
Bayangkan hal ini..
Kita bangun di pagi hari dengan segudang masalah dan merencanakan siangnya kita akan curhat dengan seorang teman. Rasa ‘plong’ tentu ada, tetapi apakah masalah selesai? Belum tentu!
Dibandingkan
Kita sedang ada masalah dengan pelajaran di kampus, lalu mendadak ada seorang anak sd yang meminta kita mengajarinya matematika. Kita pun menyanggupi, lalu beberapa hari kemudian ia mengabarkan kepada kita jika ujiannya berhasil karena belajar kepada kita. Rasa ‘plong’ ada.
Masalah dengan diri sendiri memang belum tentu selesai. Tetapi ada kepuasan yang berbeda saat itu. Kepuasaan akan stres kita yang semakin berkurang dan kepuasaan akan diri kita yang berhasil membantu orang lain.Dalam psikologi sosial, dikenal teori prosocial behavior yang mengandalkan empati sebagai dasar dalam memberikan bantuan kepada orang lain.Dan dari contoh yang saya alami dengan beliau, menurut saya, termasuk :Hipotesis empati-altruisme à menolong karena hasrat untuk menolong orang yang membutuhkan & perasaan senang telah menolong.
Lalu ketika hal ini saya tanyakan kepada salah seorang teman di kampus, dia berkata, mungkin hal ini ada kaitannya dengan self-efficacy. Sekedar informasi, self Efficacy adalah belief atau keyakinan seseorang bahwa ia dapat menguasai situasi dan menghasilkan hasil (outcomes) yang positif (Santrock, 2001).
Dia berkata, mungkin hal yang membuat rasa stres loe ilang karena loe merasa bahwa loe mampu membantu orang lain, membuat orang lain bahagia, dengan kata lain self-efficacy loe naik. Dan itu memang mampu meningkatkan mood kita dalam mengatasi stres. (Kanter, 2009).
Lalu ketika saya pikir lebih lanjut sebetulnya mengapa saya merasa amat senang dengan obrolan singkat tadi pagi, saya teringat konsep reinforcement (penguatan). Mungkin kata-kata terimakasih yang beliau ucapkan merupakan salah satu bentuk reinforcement yang amat efektif bagi saya. *hihi*
Terakhir, saya ingin menutupnya dengan kesimpulan. Ternyata ada beberapa teori yang dengan stres; bagaimana cara mengatasi dan terjadinya. Seperti dalam kuliah PIO (stres kerja), Psisos (empati), Psibel (reinforcement) dan Psidik (self-efficacy).
Dari kesemuanya itu, saya berkesimpulan, bahwa dalam kondisi tertentu cara mengatasi stres adalah mengeluarkan input yang menyumbatkan pikiran. Tidak sebatas mengeluarkannya begitu saja, tapi juga menyalurkannya ke tempat yang tepat, seperti memberikan (katakanlah) konseling kepada orang yang membutuhkan ^^.
*ps : dengan membuat note ini sebetulnya juga merupakan cara saya menyalurkan input-input yang telah saya dapat. Hehe.