Laman

Jumat, 04 September 2009

Refleksi # 1: Pentingnya istiqamah

Prolog.

Tiba-tiba pemuda itu berkata,

”Tidak takutkah kita ketika ajal menjemput, kita dalam perbuatan maksiat, sedang bergosip ria, sedang berduaan dengan yang bukan muhrimnya, sedang menghardik orangtua?! Tidak senangkah kita bila kita meninggal dalam keadaan membaca Al-Qur’an, bersedekah, menunaikan puasa, sholat, dsb?!”

Maka beristiqamahlah kalian wahai golongan yang berpikir…

..dan aku pun hanyut dalam perenunganku sendiri, apa sih istiqamah itu?

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Isi ceramah pemuda paruh baya yang biasa dipanggil pak ustadz itu, saat tadi sholat tarawih, benar-benar sangat membuatku penasaran tentang “Apa itu ISTIQOMAH?” seringkali aku mendengar kata-kata itu tapi kadang masih belum paham benar arti sebenarnya.

Aku pun akhirnya mencari ayat yang disebutkan sang ustadz dalam ceramah tadi. Maka kubuka Al-Qur’an merah yang cukup besar itu, dan aku menemukannya dalam surat Fushshilat ayat 30 . . .

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".

Secara etimologis (bahasa), istiqamah berasal dari kata istaqaama yastaqiimu, yang berarti tegak lurus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekwen Dalam terminologi akhlaq, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Seorang yang istiqamah adalah laksana batu karang di tengah-tengah lautan, yang tidak bergeser sedikitpun, walaupun dipukul gelombang yang bergulung-gulung.

Ujian keimanan itu tidak selamanya dalam sifat atau bentuk yang tidak menyenangkan. Keberhasilan usaha juga bisa sebagai ujian. Pujian juga bisa sebagai ujian. Dengan keberhasilan usaha atau pujian orang bisa menjadi ujian bagi dirinya, manakala hal itu membualnya lalai dan sombong, kufur nikmat adalah kesudahan yang akan menimpa dirinya.

Seorang mukmin yang istiqamah tidak akan mundur (goyah) ketika berhadapan dengan berbagai macam godaan dan ancaman. Imannya tidak goyah oleh pengaruh harta, pangkat, kemegahan, pujian dan segala kesenangan semu yang lainnya. Nabi SAW adalah contoh teladan utama dalam masalah istiqamah, baik celaan, ancaman, bujukan, bahkan dengan tawaran berbagai sarana dan fasilitas kehidupan yang indah dan megah dari para musuh lslam. Namun Nabi SAW tetap istiqamah bersama keimanan dan keislamannya.

Adalah sikap istiqamah Nabi SAW yang sangat jelas dan tegas. Ketika pemuka kafir Quraisy Abu Jahal menawarkan jabatan, harta dan wanita melalui Abu Thalib (paman Nabi S AW), dengan tegas Nabi SAW menjawab: “Walaupun matahari diletakkan di tangan kanan saya, dan bulan di tangan kiri saya, agar saya menghentikan kegiatan dakwah saya, saya tidak akan menghentikannya”

Baik, singkat kata aku mengambil kesimpulan bahwa istiqamah berarti teguh, kuat pendirianLalu, ustadz itu menyampaikan ayat lain . . .

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”(Q.S Al-Hajj : 11)

Sang ustadz pun menjelaskan, maksud dari menyembah Allah dengan berada di tepi adalah ia muslim, tapi setengah-setengah.

Bila di Islam diibaratkan sebuah aliran sungai yang amat dalam, maka ia tetap berada ditepi, tidak mau menggali dan menyelaminya lebih dalam dan mencari aman!

Bila divisualisasikan, islamnya itu berwarna abu-abu, tidak hitam, tidak pula putih. Namun, kadang bisa hitam, kadang bisa putih, dan berganti sesuai kehendaknya, sesuai lingkungannya.Misalnya saja, saat dirumahnya ada pengajian, ia memakai kerudung atau tampak alim dengan baju koko, ikut mengaji dan sholat bersama.

Tapi saat ia bertemu dengan lingkungan yang (katakanlah) negatif, yang berdugem ria melakukan perbuatan sia-sia, atau melakukan perbuatan maksiat lainnya, ia membuka kerudungnya, ia ubah tingkah laku alim saat dipengajian, ia kenakan baju yang terbuka auratnya. *Masya Allah, ITU AURAT, Mbak, Mas! AURAT!* seakan-akan, baju koko atau kerudung itu hanyalah topeng belaka untuk menutupi perbuatan maksiatnya. Apakah tindakan seperti itu bisa dikatakan istiqamah? TENTU SAJA BUKAN! Maka merugilah ia di dunia dan akhirat. Sungguh ia telah mengalami kerugian yang nyata!*baca kembali ayat tsb dan perhatikan bagaimana Allah memperingatkan kita dengan menyebutkan kata rugi itu dua kali*

Orang-orang yang seperti itu berpikir dengan bebas mengubah-ubah topeng mereka bisa aman, selamat dan dapat diterima oleh banyak kalangan. Katakanlah pada mereka, bahwa mereka telah amat MERUGI!Jadilah Muslim yang istiqamah! Yang berpendirian teguh saat mengucapkan Tuhanku adalah Allah dan aku beriman kepadaNya. Islam itu satu, saudaraku. Bukan setengah-setengah!

“Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku.” (Q.S Yaasin :25)

Mengapa kita sangat dianjurkan untuk senantiasa istiqamah?

Alasannya cuman satu, hari esok siapa yang tahu selain Dia. Kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput, dimana kita akan mati, dan dalam seperti apa keadaan kita saat itu. bagi orang yang setengah-setengah, mungkin saja dia bisa mati dalam keadaan ikut pengajian, tapi ia juga bisa mati dalam keadaan mabuk sepulang dari diskotek atau sedang dalam perbuatan maksiat lainnya. Sungguh, kerugian untuknya!

Dan beruntunglah orang-orang yang senantiasa istiqamah dalam hidupnya. Tiada keraguan padanya tentang islam. Karena setiap tindakannya adalah (pasti) berada dalam kebaikan.
Semoga kita juga termasuk golongan mereka. Amin ya rabbal’alamin.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Epilog.

Teman, memang benar yang dikatakan oleh ustadz itu. aku sendiri (menyadari) belum sepenuhnya bisa istiqamah di jalanNya. Tapi aku akan berusaha untuk memegang teguh islam yang kuyakini ini dalam situasi apapun. Dan aku pun yakin, siapa pun kita, bisa melakukannya asal kita ada berkemauan untuk mengubah yang lalu dan konsisten memperbaikinya.
Gampangnya gini aja deh, misalnya pas bulan puasa ini kita bisa shalat, baca Qur’an, sedekah tiap hari, masa pas sesudah Ramadhan gak bisa konsisten lagi sih?

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lohmahfuz).”(Q.S Yaasin : 12)

Tidak ada komentar: